Berdasarkan pengalamanku sebagai ibu rumah tangga dan
mengasuh ketiga buah hati, Kinara (15 tahun), Obi (7 tahun) dan puteriku Sabe (
3 tahun), ternyata tiap anak memiliki karakteristik yang berbeda satu sama
lain. Penanganan antara mereka pun juga tak sama.seperti ungkapan yang
mengatakan bahwa anak ibarat bunga yang berwarna-warni. Warna pada bunga adalah
karakter sang anak. Sebagai orangtua, kita tak bisa mengubah warna bunga, namun
yang bisa kita lakukan adalah menyiraminya (dengan penuh kasih sayang), menghindarkannya
dari hama (pengaruh lingkungan yang buruk) dan memupuk (bakat/potensi ) sang
anak sehingga dia berkembang optimal, bermanfaat bagi lingkungan dan dirinya
sendiri. Aku yakin, kebanyakan orangtua
mengasihi dan ingin membahagiakan anak-anak mereka. Bahkan orangtua pun rela
berkorban untuk kebahagiaan putera-puterinya. Namun, pengaruh dan tekanan
materialistis modern seperti saat ini telah membebani orangtua lebih berat
dibandingkan ketika masa kecilku dulu. Era dulu dan sekarang jelas sangat
berbeda. Kini kita menghadapi era globalisasi, kemajuan teknologi dan industry sedangkan
di dua abad terakhir masih mengalami yang namanya era pertanian.
Banyak anak-anak masa kini yang tak lagi mendapatkan
perhatian semestinya dari kedua orangtuanya, khususnya bila mereka sama-sama
bekerja. Pergi pagi – Pulang petang. Ironis sekali, sementara penghiburan untuk
anak-anak itu telah tergantikan dengan perangkat digital, game-online dan kegemaran mereka browsing di
internet tanpa pengarahan. Perangkat digital telah mengganti ruang-ruang kosong
dalam jiwa mereka dan menjadikan generasi penerus ini sebagai generasi yang
mengerikan. Bagaimana nasib anak-anak ini bisa menjadi pemimpin masa depan bila
perkembangan moral dan psikologis mereka terhambat? Beberapa game online bahkan
disinyalir banyak mengajarkan sadisme
dan pornografi. Parahnya, ketika pertemuan terjadi antar orangtua dan anak, bukannya
mereka memanfaatkan waktu secara berkualitas namun sebaliknya orangtua masih
saja disibukkan dengan “BBM”, “Ngetweet”, “NgeChat”, dan beragam kegiatan
Online yang lebih mengasikkan daripada mengisi ruang kosong buah hati mereka
dengan siraman rohani, perhatian dan
kasih sayang.
Pengawasan orangtua diperlukan ketika anak bermain gadget |
Akibatnya, anak-anak
bereksplorasi tanpa arah bahkan ketika mereka telah teracuni pornografi, dengan
sendirinya anak-anak itu berusaha selalu memuaskan hasratnya tanpa pernah mengerti
bahaya dari perbuatan mereka sendiri. Otak mereka telah rusak karena rangsangan seks terus meningkat untuk dipuaskan di usia mereka yang masih dini. Rasanya miris sekali melihat kondisi saat
ini. Dunia meterialisme yang menyedihkan apalagi saat salah satu keponakan
perempuan berusia 5 tahun menjadi korban pelecehan seks dari anak tetangganya sendiri
yang masih kelas SD. Keponakanku yang
masih balita itu dengan enteng bercerita pengalamannya kepada orangtuanya bahwa
dia telah melakukan oral seks. Duh Gusti…, betapa hancurnya hati mereka. Betapa
ingin mereka mencuci otak anaknya yang telah teracuni pornografi namun apadanya…
semua sudah terlanjur…Kasihan sekali anak-anak itu bila terkena imbas dari
pornografi, sayang banyak orangtua yang malah memberikan mereka gadget, HP
mutakhir dan mengakses internet dengan leluasa dan tanpa rasa was-was.
Memang sekarang telah terjadi kemajuan jaman. Semua serba
cepat dan canggih. Tak bisa kita cegah kemajuan yang terjadi karena peradaban
modern memang diharapkan untuk mempermudah hidup manusia. Namun patut
disayangkan bila kemajuan itu tak dibarengi dengan sikap bijaksana memantau
buah hati agar tak terjerumus ke perilaku yang menyesatkan
Dari pengalaman yang tersebut, jelas sebagai orangtua tentu
tak bakal menyangka bahwa anak sekecil itu bisa melakukan hal di luar batas.
Namun itulah yang kini marak terjadi. Sementara yang lain, anak-anak menjadi
korban tekanan psikologis untuk menjadi yang terbaik di segala bidang. Mereka
lupa untuk mengajarkan nilai-nilai luhur seperti sikap menghormati, budi
pekerti, toleransi dan kejujuran. Anak-anak banyak ditekan untuk menjadi pintar,
popular dan terbaik. Tidak peduli anak-anak senang atau tidak. Bahkan aku
pernah melihat salah seorang anak mengalami kekalahan saat lomba dan dihajar
oleh orangtuanya karena malu. Ah, betapa parahnya bila anak hanya dihargai dari
pencapaian prestasinya semata.
Apakah salah anak mengikuti berbagai kegiatan? Tentu saja tidak,
jika anak-anak memang berminat, berbakat atau jika kegiatan itu adalah salah
satu cara memahami diri mereka dan lingkungannya. Siapa sih yang tak ingin
punya anak langganan juara lomba? Aku pun juga suka melihat anak lebih positif
dengan beraktifitas daripada duduk main game dirumah. Namun perlu diingat bahwa
kepintaran saja tak cukup membekali mereka menjadi pemimpin masa depan. Suasana
positif dalam mendidik mereka dan mendekatkannya dengan nilai-nilai spiritual
tentu akan menjadikan mereka mempunyai jiwa pemimpin yang luhur dan punya rasa
kasih sayang, empati dan takut akan perbuatan salah atau dosa.
Prestasi harus dibarengi dengan keluhuran budi |
Juara III OSN (Olympiade Sains Nasional) |
Sebagai seorang Ibu, saya pun juga berusaha memberikan berbagai
kegiatan untuk mereka dan tentu saja harus didiskusikan kepada anak terlebih
dahulu agar mereka pun senang menjalaninya. Bagaimana pun aktivitas kebersamaan
sangat penting agar membantu anak-anak menjadi lebih pengertian, mempunyai rasa
keikhlasan dan kasih sayang serta menghargai lingkungan sekitarnya. Kesiapan
mental pun juga diperlukan agar mereka bisa menikmati kehidupan masa
kanak-kanaknya dengan penuh kebahagiaan. Aku juga tak ingin merampas masa
kanak-kanaknya hanya untuk ambisi belaka. Biarlah mereka tumbuh optimal dengan
menikmati kehidupannya.
Anak Pertama : Kinara
Juara 1 Lomba Cerdas Cermat |
Seperti saat mempunyai anak pertama, Kinara yang kini telah berusia 15 tahun, aku tak
menyangka bahwa kini dia bisa berprestasi mengingat dulu dia merupakan anak
yang nakal dan prestasi akademiknya tak begitu menonjol di kelas. Saat itu, hanya
kenakalannya lah yang paling menonjol sehingga membuatku harus bolak balik
kesekolah untuk mendengarkan pengaduan dari guru-gurunya begitu pun saat penerimaan
raport, aku pasti harus pulang paling akhir. Duh, malunya! Beruntung, hubungan yang baik
dua arah antar orangtua dan guru ini kemudian bisa membawa kemajuan menjadi
lebih baik. Sang guru dengan bantuan psikolog akhirnya
mengetahui bahwa Kinara termasuk kategori anak superaktif sehingga dia
disarankan mengikuti berbagai kegiatan sesuai dengan minatnya. Hal yang harus kuiingat adalah selalu
menghargai hal positif yang dilakukannya sehingga aktifitas terarah lebih baik .
Berawal dari kegiatan positif pula diharapkan sisi negatifnya bisa berkurang. Guru
wali kelasnya juga ikut membantu perkembangannya dengan memberikannya tanggung
jawab. Awalnya mulai dari hal-hal kecil, menjadi “satpam” dikelas sampai ketua
kelas kemudian meningkat menjadi dokter kecil di sekolah dan lama kelamaan
diikutsertakan dalam berbagai perlombaan. Awalnya aku sempat ragu apakah dia
mampu berprestasi, tak dinyana dalam berbagai perlombaan dia bisa menjadi
juara. Prestasi yang diraihnya seakan memacu potensinya berkembang. Kini
setelah beranjak remaja, prestasinya pun tetap baik bahkan jiwa kepemimpinannya
pun kian terlihat dengan makin dicintai oleh sahabat-sahabatnya dan dipercaya
menjadi anggota senat serta mewakili sekolah untuk maju ke ajang berbagai lomba.
Anak Kedua: Obi
Apapun yang disuka, aku selalu mendukungnya |
Nah, lain Kinara, lain halnya pula Obi. Putera kedua ku ini
sangatlah berbeda. Hal yang harus kulakukan adalah tidak membandingkan nilai
akademis keduanya yang bagai langit dan bumi.
Obi putera keduaku termasuk slow-learner sehingga perlu latihan yang
berulang-ulang untuk mengingat materi di sekolahnya. Meski demikian dia masih
bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan tak pernah sampai tinggal kelas. Bahkan
ujian tengah semester lalu, nilai bahasa Inggrisnya merupakan nilai tertinggi
di kelasnya. Dalam bidang matematika pun dia mempunyai nilai yang bagus meski lemah dalam hal menghapal atau belajar sejarah. Bagaimana pun Obi harus sering berlatih supaya dia pun melakukan
segala sesuatu dengan maksimal. Meski hasilnya tak seperti yang kuharapkan
namun aku bahagia bila dia mempunyai hasrat menjadi yang terbaik. Untuk
selanjutnya aku pun harus mengenali bakat potensi dalam dirinya agar dia bisa
berkembang dan tumbuh dengan optimal. Tak lupa sebagai orangtua aku
membekalinya dengan latihan spiritual dan etika yang baik agar dia bisa tumbuh
menyadari potensi sejatinya. Karena Obi adalah anak yang lebih perasa dan cenderung introvert, aku lebih banyak bertanya padanya mengenai apa yang dirasa dan dialaminya sehingga dia belajar untuk mengungkapkan perasaannya. Meski pada awalnya kesulitan, namun bukannya tak mungkin dengan timbulnya rasa percaya diri lambat laun dia merasa bangga bahwa ternyata dia pun mempunyai kemampuan mengatasi permasalahan. Karena lebih perasa, maka aku pun juga lebih banyak memujinya dan memperhatikan sekecil apa pun kemajuan yang telah dilakukan dan memberikan penghargaan kepadanya.
Anak Ketiga : Sabesatha
Mendidik kedua puteraku yang berbeda adalah bekal untuk
mendidik secara lebih baik lagi kepada Sabesatha, puteriku yang kini berusia 3
tahun. Ternyata mendidik anak perempuan jauh lebih mudah ketimbang anak laki-laki.
Perempuan lebih teratur dan mudah diarahkan. Kebetulan Sabe mempunyai sifat yang mandiri
sehingga pada saat pertama kali masuk PAUD dengan sendirinya dia menyuruhku
pulang ke rumah. “Mama masak dulu, nanti jemput aku,” Terus terang aku sedikit
kaget, kupikir dia anak manja dirumah dan bakal menangis di hari pertamanya.
Maklum, dia puteri satu-satunya dan kakak-kakaknya sangat memanjakannya.
Ternyata curahan kasih sayang kami membuat rasa percaya dirinya pun meningkat.
Sabe mudah bergaul dan senang mengikuti banyak aktifitas. Bahkan di sekolah
PAUDnya yang hanya 3 hari masih membuatnya merasa kurang kegiatan. Sabe ingin tiap hari sekolah.
Jadilah kemudian aku mendaftarkan dirinya di dua PAUD dengan jadual hari yang
berbeda agar bisa merasakan sekolah tiap hari seperti yang dimintanya. Kulihat
tidak ada rasa bosan bersekolah. Mungkin itu karena memang sudah niat dalam
dirinya yang telah siap sekolah. Yang jelas, aku selalu percaya padanya bahwa
dia bisa melampaui dunianya sehingga berani bereksplorasi. Sering memberikan
dukungan berupa pujian dan kepercayaan dengan pelukan dan ciuman seakan
memberinya rasa tenang dan dia pun menghadapi hari-harinya dengan penuh
antusias.
Dari semua ketiga anakku, aku berusaha memenuhi kebutuhan
kasih sayang dan perhatian yang merata. Itulah prioritas utamaku dalam mendidik
mereka supaya mereka tumbuh dalam kasih sayang dan menjadi pemimpin yang berbudi luhur. Aku juga selalu merenungkan tulisan Khalil Gibran dibawah ini,
Anak-anakmu adalah bukan anak-anakmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang merindukan dirinya sendiri
Mereka datang melaluimu namun tidak darimu
Meskipun mereka bersamamu
Mereka bukanlah milikmu
Engkau boleh memberikan cintamu pada mereka
Tapi tidak pemikiranmu
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri
Engkau boleh berusaha menyamai merke, tapi janganlah
Berusaha membuat mereka sama denganmu
Tulisan ini diikutsertkan dalam #LombaBlogNUB