Sabtu, 19 Oktober 2013

Utamakan Kebahagiaan Anak Sehingga Menjadikannya Pemimpin yang Berbudi Luhur


Berdasarkan pengalamanku sebagai ibu rumah tangga dan mengasuh ketiga buah hati, Kinara (15 tahun), Obi (7 tahun) dan puteriku Sabe ( 3 tahun), ternyata tiap anak memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Penanganan antara mereka pun juga tak sama.seperti ungkapan yang mengatakan bahwa anak ibarat bunga yang berwarna-warni. Warna pada bunga adalah karakter sang anak. Sebagai orangtua, kita tak bisa mengubah warna bunga, namun yang bisa kita lakukan adalah menyiraminya (dengan penuh kasih sayang), menghindarkannya dari hama (pengaruh lingkungan yang buruk) dan memupuk (bakat/potensi ) sang anak sehingga dia berkembang optimal, bermanfaat bagi lingkungan dan dirinya sendiri.  Aku yakin, kebanyakan orangtua mengasihi dan ingin membahagiakan anak-anak mereka. Bahkan orangtua pun rela berkorban untuk kebahagiaan putera-puterinya. Namun, pengaruh dan tekanan materialistis modern seperti saat ini telah membebani orangtua lebih berat dibandingkan ketika masa kecilku dulu. Era dulu dan sekarang jelas sangat berbeda. Kini kita menghadapi era globalisasi, kemajuan teknologi dan industry sedangkan di dua abad terakhir masih mengalami yang namanya era pertanian.

Banyak anak-anak masa kini yang tak lagi mendapatkan perhatian semestinya dari kedua orangtuanya, khususnya bila mereka sama-sama bekerja. Pergi pagi – Pulang petang. Ironis sekali, sementara penghiburan untuk anak-anak itu telah tergantikan dengan perangkat digital,  game-online dan kegemaran mereka browsing di internet tanpa pengarahan. Perangkat digital telah mengganti ruang-ruang kosong dalam jiwa mereka dan menjadikan generasi penerus ini sebagai generasi yang mengerikan. Bagaimana nasib anak-anak ini bisa menjadi pemimpin masa depan bila perkembangan moral dan psikologis mereka terhambat? Beberapa game online bahkan disinyalir banyak  mengajarkan sadisme dan pornografi. Parahnya, ketika pertemuan terjadi antar orangtua dan anak, bukannya mereka memanfaatkan waktu secara berkualitas namun sebaliknya orangtua masih saja disibukkan dengan “BBM”, “Ngetweet”, “NgeChat”, dan beragam kegiatan Online yang lebih mengasikkan daripada mengisi ruang kosong buah hati mereka dengan siraman rohani,  perhatian dan kasih sayang.

Pengawasan orangtua diperlukan ketika anak bermain gadget

Akibatnya, anak-anak bereksplorasi tanpa arah bahkan ketika mereka telah teracuni pornografi, dengan sendirinya anak-anak itu berusaha selalu memuaskan hasratnya tanpa pernah mengerti bahaya dari perbuatan mereka sendiri. Otak mereka telah rusak karena rangsangan seks terus meningkat untuk dipuaskan di usia mereka yang masih dini. Rasanya miris sekali melihat kondisi saat ini. Dunia meterialisme yang menyedihkan apalagi saat salah satu keponakan perempuan berusia 5 tahun menjadi korban pelecehan seks dari anak tetangganya sendiri yang masih kelas SD.  Keponakanku yang masih balita itu dengan enteng bercerita pengalamannya kepada orangtuanya bahwa dia telah melakukan oral seks. Duh Gusti…, betapa hancurnya hati mereka. Betapa ingin mereka mencuci otak anaknya yang telah teracuni pornografi namun apadanya… semua sudah terlanjur…Kasihan sekali anak-anak itu bila terkena imbas dari pornografi, sayang banyak orangtua yang malah memberikan mereka gadget, HP mutakhir dan mengakses internet dengan leluasa dan tanpa rasa was-was.

Memang sekarang telah terjadi kemajuan jaman. Semua serba cepat dan canggih. Tak bisa kita cegah kemajuan yang terjadi karena peradaban modern memang diharapkan untuk mempermudah hidup manusia. Namun patut disayangkan bila kemajuan itu tak dibarengi dengan sikap bijaksana memantau buah hati agar tak terjerumus ke perilaku yang menyesatkan

Dari pengalaman yang tersebut, jelas sebagai orangtua tentu tak bakal menyangka bahwa anak sekecil itu bisa melakukan hal di luar batas. Namun itulah yang kini marak terjadi. Sementara yang lain, anak-anak menjadi korban tekanan psikologis untuk menjadi yang terbaik di segala bidang. Mereka lupa untuk mengajarkan nilai-nilai luhur seperti sikap menghormati, budi pekerti, toleransi dan kejujuran. Anak-anak banyak ditekan untuk menjadi pintar, popular dan terbaik. Tidak peduli anak-anak senang atau tidak. Bahkan aku pernah melihat salah seorang anak  mengalami kekalahan saat lomba dan dihajar oleh orangtuanya karena malu. Ah, betapa parahnya bila anak hanya dihargai dari pencapaian prestasinya semata.
Apakah salah anak mengikuti berbagai kegiatan? Tentu saja tidak, jika anak-anak memang berminat, berbakat atau jika kegiatan itu adalah salah satu cara memahami diri mereka dan lingkungannya. Siapa sih yang tak ingin punya anak langganan juara lomba? Aku pun juga suka melihat anak lebih positif dengan beraktifitas daripada duduk main game dirumah. Namun perlu diingat bahwa kepintaran saja tak cukup membekali mereka menjadi pemimpin masa depan. Suasana positif dalam mendidik mereka dan mendekatkannya dengan nilai-nilai spiritual tentu akan menjadikan mereka mempunyai jiwa pemimpin yang luhur dan punya rasa kasih sayang, empati dan takut akan perbuatan salah atau dosa.

Prestasi harus dibarengi dengan keluhuran budi
Juara III OSN (Olympiade Sains Nasional) 
Sebagai seorang Ibu,  saya pun juga berusaha memberikan berbagai kegiatan untuk mereka dan tentu saja harus didiskusikan kepada anak terlebih dahulu agar mereka pun senang menjalaninya. Bagaimana pun aktivitas kebersamaan sangat penting agar membantu anak-anak menjadi lebih pengertian, mempunyai rasa keikhlasan dan kasih sayang serta menghargai lingkungan sekitarnya. Kesiapan mental pun juga diperlukan agar mereka bisa menikmati kehidupan masa kanak-kanaknya dengan penuh kebahagiaan. Aku juga tak ingin merampas masa kanak-kanaknya hanya untuk ambisi belaka. Biarlah mereka tumbuh optimal dengan menikmati kehidupannya.


Anak Pertama : Kinara
Juara 1 Lomba Cerdas Cermat
Seperti saat mempunyai anak pertama, Kinara  yang kini telah berusia 15 tahun, aku tak menyangka bahwa kini dia bisa berprestasi mengingat dulu dia merupakan anak yang nakal dan prestasi akademiknya tak begitu menonjol di kelas. Saat itu, hanya kenakalannya lah yang paling menonjol sehingga membuatku harus bolak balik kesekolah untuk mendengarkan pengaduan dari guru-gurunya begitu pun saat penerimaan raport, aku pasti harus pulang paling akhir.  Duh, malunya! Beruntung, hubungan yang baik dua arah antar orangtua dan guru ini kemudian bisa membawa kemajuan menjadi lebih baik.   Sang guru dengan bantuan psikolog akhirnya mengetahui bahwa Kinara termasuk kategori anak superaktif sehingga dia disarankan mengikuti berbagai kegiatan sesuai dengan minatnya.  Hal yang harus kuiingat adalah selalu menghargai hal positif yang dilakukannya sehingga aktifitas terarah lebih baik . Berawal dari kegiatan positif pula diharapkan sisi negatifnya bisa berkurang. Guru wali kelasnya juga ikut membantu perkembangannya dengan memberikannya tanggung jawab. Awalnya mulai dari hal-hal kecil, menjadi “satpam” dikelas sampai ketua kelas kemudian meningkat menjadi dokter kecil di sekolah dan lama kelamaan diikutsertakan dalam berbagai perlombaan. Awalnya aku sempat ragu apakah dia mampu berprestasi, tak dinyana dalam berbagai perlombaan dia bisa menjadi juara. Prestasi yang diraihnya seakan memacu potensinya berkembang. Kini setelah beranjak remaja, prestasinya pun tetap baik bahkan jiwa kepemimpinannya pun kian terlihat dengan makin dicintai oleh sahabat-sahabatnya dan dipercaya menjadi anggota senat serta mewakili sekolah untuk maju ke ajang berbagai lomba.


Anak Kedua: Obi
Apapun yang disuka, aku selalu mendukungnya


Nah, lain Kinara, lain halnya pula Obi. Putera kedua ku ini sangatlah berbeda. Hal yang harus kulakukan adalah tidak membandingkan nilai akademis keduanya yang bagai langit dan bumi.  Obi putera keduaku termasuk slow-learner sehingga perlu latihan yang berulang-ulang untuk mengingat materi di sekolahnya. Meski demikian dia masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan tak pernah sampai tinggal kelas. Bahkan ujian tengah semester lalu, nilai bahasa Inggrisnya merupakan nilai tertinggi di kelasnya. Dalam bidang matematika pun dia mempunyai nilai yang bagus meski lemah dalam hal menghapal atau belajar sejarah. Bagaimana pun Obi harus sering berlatih supaya dia pun melakukan segala sesuatu dengan maksimal. Meski hasilnya tak seperti yang kuharapkan namun aku bahagia bila dia mempunyai hasrat menjadi yang terbaik. Untuk selanjutnya aku pun harus mengenali bakat potensi dalam dirinya agar dia bisa berkembang dan tumbuh dengan optimal. Tak lupa sebagai orangtua aku membekalinya dengan latihan spiritual dan etika yang baik agar dia bisa tumbuh menyadari potensi sejatinya. Karena Obi adalah anak yang lebih perasa dan cenderung introvert, aku lebih banyak bertanya padanya mengenai apa yang dirasa dan dialaminya sehingga dia belajar untuk mengungkapkan perasaannya. Meski pada awalnya kesulitan, namun bukannya tak mungkin dengan timbulnya rasa percaya diri lambat laun dia merasa bangga bahwa ternyata dia pun mempunyai kemampuan mengatasi permasalahan. Karena lebih perasa,  maka aku pun juga lebih banyak memujinya dan memperhatikan sekecil apa pun kemajuan yang telah dilakukan dan memberikan penghargaan kepadanya. 

Anak Ketiga : Sabesatha 


Mendidik kedua puteraku yang berbeda adalah bekal untuk mendidik secara lebih baik lagi kepada Sabesatha, puteriku yang kini berusia 3 tahun. Ternyata mendidik anak perempuan jauh  lebih mudah ketimbang anak laki-laki. Perempuan lebih teratur dan mudah diarahkan.  Kebetulan Sabe mempunyai sifat yang mandiri sehingga pada saat pertama kali masuk PAUD dengan sendirinya dia menyuruhku pulang ke rumah. “Mama masak dulu, nanti jemput aku,” Terus terang aku sedikit kaget, kupikir dia anak manja dirumah dan bakal menangis di hari pertamanya. Maklum, dia puteri satu-satunya dan kakak-kakaknya sangat memanjakannya. Ternyata curahan kasih sayang kami membuat rasa percaya dirinya pun meningkat. Sabe mudah bergaul dan senang mengikuti banyak aktifitas. Bahkan di sekolah PAUDnya yang hanya 3 hari masih membuatnya merasa kurang kegiatan. Sabe ingin tiap hari sekolah. Jadilah kemudian aku mendaftarkan dirinya di dua PAUD dengan jadual hari yang berbeda agar bisa merasakan sekolah tiap hari seperti yang dimintanya. Kulihat tidak ada rasa bosan bersekolah. Mungkin itu karena memang sudah niat dalam dirinya yang telah siap sekolah. Yang jelas, aku selalu percaya padanya bahwa dia bisa melampaui dunianya sehingga berani bereksplorasi. Sering memberikan dukungan berupa pujian dan kepercayaan dengan pelukan dan ciuman seakan memberinya rasa tenang dan dia pun menghadapi hari-harinya dengan penuh antusias.
Dari semua ketiga anakku, aku berusaha memenuhi kebutuhan kasih sayang dan perhatian yang merata. Itulah prioritas utamaku dalam mendidik mereka supaya mereka tumbuh dalam kasih sayang dan menjadi pemimpin yang berbudi luhur. Aku juga selalu merenungkan tulisan Khalil Gibran dibawah ini,

Anak-anakmu adalah bukan anak-anakmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Yang merindukan dirinya sendiri
Mereka datang melaluimu namun tidak darimu
Meskipun mereka bersamamu
Mereka bukanlah milikmu
Engkau boleh memberikan cintamu pada mereka
Tapi tidak pemikiranmu
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri
Engkau boleh berusaha menyamai merke, tapi janganlah
Berusaha membuat mereka sama denganmu








Tulisan ini diikutsertkan dalam #LombaBlogNUB