Bagi kami, liburan sangat penting karena memberikan banyak efek
positif. Kami pun bisa berbagi nilai-nilai baik yang dianut keluarga seperti
rasa hormat atau cinta terhadap keluarga. Tak perlu harus menunggu musim
liburan atau hari Raya. Selama kami bisa meluangkan waktu maka kami pun akan
mengajak anak-anak untuk berwisata. Seperti kali ini kami mengunjungi Candi
Gedongsongo. Disana kami bisa menikmati wisata alam sekaligus wisata sejarah yang sangat menyenangkan. Awalnya Obi, puteraku
yang berusia 7 tahun merasa keheranan saat kukatakan bahwa akan mengunjugi
Candi. “Apa itu Candi, Ma?” Apakah tempat permandian?” tanyanya. “Bukan! Candi
yang kita kunjungi adalah tempat sembahyang jaman dulu kala. Bangunannya
tersusun dari bebatuan dan dulunya tempat itu dipercaya sebagai tempat tinggal
para dewa.” Dengan wajah girang Obi pun berteriak, “Asiikkkk…. !Berarti aku
disana bisa bertemu dengan para dewa dong , Ma. Nah, kalau begitu Obi bawa PS
yaa.., biar bisa maen sama-sama” Haiss..
susah juga menjelaskan padanya. Kukatakan saja bahwa makhluk dewa memang ada
namun tak terlihat, sama seperti Tuhan yang ada namun tak terlihat. Barulah dia
sepertinya mengerti. Yang penting Obi pun menyambut rencana kami dengan
antusias.
Perjalanan menuju ke Gedongsongo memang menarik. Dalam perjalanan, kita pun menikmati bau harum yang menguar dari
berbagai tanaman bunga hasil para petani. Sepertinya memang para petani di
kawasan ini menjadikan hasil tanam buah dan sayur sebagai mata pencaharian utama. Jalan yang menanjak membuat
anak-anak bernyanyi “Naik-naik ke puncak Gunung..” demikian juga saat terjadi
rintik hujan, spontan puteriku Sabe (3 tahun) menyanyikan lagu “Tik.. tik..
tik.. bunyi hujan…. “ Tak kulihat mereka
lelah ataupun bosan dalam perjalanan. Sebaliknya mereka pun bernyanyi tak
henti-henti sehingga kami tak perlu menyetel CD. Ha..ha..ha..
Menikmati Candi Gedongsongo memang tak ada habisnya. Bila dibandingkan
dengan Candi-candi lainnya, Candi Gedongsongo mempunyai banyak keistimewaan.
Selain yang mempunyai letak terpencar-pencar satu sama lain, letaknya juga
berada di ketinggian 1350 meter diatas permukaan laut sehingga membuat kami dapat melihat siluet gunung Lawu,
Sindoro, Sumbing serta Merapi serta pemandangan lembah. Di atas bukit ini kita
bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan kota Ambarawa dengan latar
belakang gunung-gunungnya yang mempesona.
Untungnya kita bisa menyewa kuda untuk mengunjungi semua candi. Maklum
Candi satu dan lainnya memang terpencar-pencar dan membutuhkan waktu kurang
lebih 1 jam untuk sampai ke Candi ke Sembilan. Sayang kini hanya tinggal 5 buah
candi saja, sedangkan candi yang lainnya sudah menjadi reruntuhan batu-batuan
(candi 6-9). Sabe puteriku senang sekali
apalagi dia bisa merasakan lamanya berkuda. Kadang dia mengelus kuda yang
bernama Vino itu sambil tertawa-tawa. Kami pun melewati hutan pinus menuju Candi ke-3. Tampak jurang di sisi kanan
dan kiri serta banyak petani menanam bunga serta sayur mayor. Uap belerang pun
membubung ke atas dan air panasnya juga
mengalir ke bawah kebun. Udara sejuk pun menerpa kami namun juga uap panas yang
keluar dari balik bebatuan. “Paa… itu asap apa?” seru Obi. Si kecil Sabe pun
juga terkesima melihat uap air yang terus menerus keluar. Papa yang satu kuda
dengan Obi pun menjelaskan bahwa itu bukan asap melainkan uap air belerang yang
keluar dari dalam tanah. Air belerang pun juga dipercaya mampu menyembuhkan
berbagai penyakit kulit. “Wahh.. berarti
gatal-gatal habis digigit nyamuk juga bisa hilang, Pa?” Tanya Obi. Suamiku pun
mengangguk, “Betul, Obi. Nanti kulitmu pun juga semakin sehat bila mandi air
belerang. Nanti kita mandi air panas belerang sama-sama, yuk.” Langsung deh Obi
berseru girang “Waaa… asikkkk!” Sabe yang melihat kakaknya berteriak girang
juga ikut-ikutan bilang, “Aciiikkk… acikkkk…!!!” Ha..ha.. ha.. sungguh senang sekali mengajak
mereka berlibur. Sepertinya mereka juga tak mengenal istilah lelah.
Tiba di kompleks air panas. Kami pun bergegas menuju sebuah kolam yang “tak
lazim”. Airnya keruh coklat kekuningan.
Tembok keramiknya pun juga berwarna sama. “Hiii… jijik, Ma!” seru Obi dan Sabe
bersamaan. Ditambah bau tak sedap membuat mereka merasa tak nyaman. Si kecilpun sedari tadi sudah merasa tak
nyaman dengan baunya, “Ma, bau e’e.. “ seraya menutupi hidung mungilnya dengan
tangannya.
Awalnya mereka mengurungkan niat untuk
mandi berendam air belerang. Namun melihat Papanya menikmati segarnya air
belerang, mereka jadi ingin merasakannya. Untungnya air panas belerang tidak
terlalu menyengat di kulit. Suhunya hampir sama seperti saat kita mandi air
hangat. Nikmatttt…
Setelah mandi sejenak, kami lanjutkan ke Candi tertinggi yaitu
kelompok Candi V. Candi yang terletak di lapangan datar berumput ini memang
demikian indah. Apalagi saat menikmati pemandangan candi yang terkepung oleh
gunung-gunung besar di kejauhan. Candi
induk yang berdiri megah dan anggun di tengah-tengah lapangan menambah
kecantikan alam yang begitu sempurna. Obi pun mengamati Candi itu dengan penuh
sukacita “Ma, mengapa yaa.. candi-candi ini diukir bagus sekali?” Hmm..
ternyata dari berlibur bisa membuatnya semakin kritis terhadap lingkungannya. “Iya,
itu karena jaman dahulu tempat ini dibuat sebagai tempat pemujaan dewa-dewi
atau tempat sembahyang sehingga diukir sedemikan indah sebagai perlambang rumah
dewa.” Jelasku. “Waahhh… kereennn, Kok
nggak ambruk ya Ma?” Ha..ha.ha.. kami tertawa mendengarnya, “Ya itulah maha
karya nenek moyang kita yang harus dilestarikan. Bayangkan bangunan itu berdiri
sudah ribuan tahun , loh!” Kulihat Obi pun berdecak kagum tak ada hentinya.
Semoga perjalananku kali ini membawa memori indah baginya untuk terus
melanjutkan wisata sejarah, alam dan religi Indonesia yang tiada duanya sehingga rasa cinta dan
kebanggaannya terhadap negeri ini pun terus bertambah dari waktu ke waktu dan
melekat ke dalam jiwanya.
wow.. keren gan..
BalasHapuswww.kiostiket.com