Rabu, 26 Juni 2013

Pesona Wisata Sejarah, Alam & Religi di GedongSongo

Bagi kami, liburan sangat penting karena memberikan banyak efek positif. Kami pun bisa berbagi nilai-nilai baik yang dianut keluarga seperti rasa hormat atau cinta terhadap keluarga. Tak perlu harus menunggu musim liburan atau hari Raya. Selama kami bisa meluangkan waktu maka kami pun akan mengajak anak-anak untuk berwisata. Seperti kali ini kami mengunjungi Candi Gedongsongo. Disana kami bisa menikmati  wisata alam sekaligus wisata sejarah yang  sangat menyenangkan. Awalnya Obi, puteraku yang berusia 7 tahun merasa keheranan saat kukatakan bahwa akan mengunjugi Candi. “Apa itu Candi, Ma?” Apakah tempat permandian?” tanyanya. “Bukan! Candi yang kita kunjungi adalah tempat sembahyang jaman dulu kala. Bangunannya tersusun dari bebatuan dan dulunya tempat itu dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa.” Dengan wajah girang Obi pun berteriak, “Asiikkkk…. !Berarti aku disana bisa bertemu dengan para dewa dong , Ma. Nah, kalau begitu Obi bawa PS yaa.., biar bisa maen sama-sama”  Haiss.. susah juga menjelaskan padanya. Kukatakan saja bahwa makhluk dewa memang ada namun tak terlihat, sama seperti Tuhan yang ada namun tak terlihat. Barulah dia sepertinya mengerti. Yang penting Obi pun menyambut rencana kami dengan antusias.






Perjalanan menuju ke Gedongsongo memang menarik. Dalam perjalanan,  kita pun menikmati bau harum yang menguar dari berbagai tanaman bunga hasil para petani. Sepertinya memang para petani di kawasan ini menjadikan hasil tanam buah dan sayur sebagai mata pencaharian utama.   Jalan yang menanjak membuat anak-anak bernyanyi “Naik-naik ke puncak Gunung..” demikian juga saat terjadi rintik hujan, spontan puteriku Sabe (3 tahun) menyanyikan lagu “Tik.. tik.. tik.. bunyi hujan…. “  Tak kulihat mereka lelah ataupun bosan dalam perjalanan. Sebaliknya mereka pun bernyanyi tak henti-henti sehingga kami tak perlu menyetel CD. Ha..ha..ha..





Menikmati Candi Gedongsongo memang tak ada habisnya. Bila dibandingkan dengan Candi-candi lainnya, Candi Gedongsongo mempunyai banyak keistimewaan. Selain yang mempunyai letak terpencar-pencar satu sama lain, letaknya juga berada di ketinggian 1350 meter diatas permukaan laut sehingga  membuat kami dapat melihat siluet gunung Lawu, Sindoro, Sumbing serta Merapi serta pemandangan lembah. Di atas bukit ini kita bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan kota Ambarawa dengan latar belakang gunung-gunungnya yang mempesona.

Untungnya kita bisa menyewa kuda untuk mengunjungi semua candi. Maklum Candi satu dan lainnya memang terpencar-pencar dan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai ke Candi ke Sembilan. Sayang kini hanya tinggal 5 buah candi saja, sedangkan candi yang lainnya sudah menjadi reruntuhan batu-batuan (candi 6-9).  Sabe puteriku senang sekali apalagi dia bisa merasakan lamanya berkuda. Kadang dia mengelus kuda yang bernama Vino itu sambil tertawa-tawa. Kami pun melewati hutan pinus  menuju Candi ke-3. Tampak jurang di sisi kanan dan kiri serta banyak petani menanam bunga serta sayur mayor. Uap belerang pun membubung ke atas  dan air panasnya juga mengalir ke bawah kebun. Udara sejuk pun menerpa kami namun juga uap panas yang keluar dari balik bebatuan. “Paa… itu asap apa?” seru Obi. Si kecil Sabe pun juga terkesima melihat uap air yang terus menerus keluar. Papa yang satu kuda dengan Obi pun menjelaskan bahwa itu bukan asap melainkan uap air belerang yang keluar dari dalam tanah. Air belerang pun juga dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit kulit.  “Wahh.. berarti gatal-gatal habis digigit nyamuk juga bisa hilang, Pa?” Tanya Obi. Suamiku pun mengangguk, “Betul, Obi. Nanti kulitmu pun juga semakin sehat bila mandi air belerang. Nanti kita mandi air panas belerang sama-sama, yuk.” Langsung deh Obi berseru girang “Waaa… asikkkk!” Sabe yang melihat kakaknya berteriak girang juga ikut-ikutan bilang, “Aciiikkk… acikkkk…!!!”  Ha..ha.. ha.. sungguh senang sekali mengajak mereka berlibur. Sepertinya mereka juga tak mengenal istilah lelah.




Tiba di kompleks air panas.  Kami pun bergegas menuju sebuah kolam yang “tak lazim”.  Airnya keruh coklat kekuningan. Tembok keramiknya pun juga berwarna sama. “Hiii… jijik, Ma!” seru Obi dan Sabe bersamaan. Ditambah bau tak sedap membuat mereka merasa tak nyaman.  Si kecilpun sedari tadi sudah merasa tak nyaman dengan baunya, “Ma, bau e’e.. “ seraya menutupi hidung mungilnya dengan tangannya.

     Awalnya mereka mengurungkan niat untuk mandi berendam air belerang. Namun melihat Papanya menikmati segarnya air belerang, mereka jadi ingin merasakannya. Untungnya air panas belerang tidak terlalu menyengat di kulit. Suhunya hampir sama seperti saat kita mandi air hangat. Nikmatttt…   

Setelah mandi sejenak, kami lanjutkan ke Candi tertinggi yaitu kelompok Candi V. Candi yang terletak di lapangan datar berumput ini memang demikian indah. Apalagi saat menikmati pemandangan candi yang terkepung oleh gunung-gunung besar di kejauhan.  Candi induk yang berdiri megah dan anggun di tengah-tengah lapangan menambah kecantikan alam yang begitu sempurna. Obi pun mengamati Candi itu dengan penuh sukacita “Ma, mengapa yaa.. candi-candi ini diukir bagus sekali?” Hmm.. ternyata dari berlibur bisa membuatnya semakin kritis terhadap lingkungannya. “Iya, itu karena jaman dahulu tempat ini dibuat sebagai tempat pemujaan dewa-dewi atau tempat sembahyang sehingga diukir sedemikan indah sebagai perlambang rumah dewa.”  Jelasku. “Waahhh… kereennn, Kok nggak ambruk ya Ma?” Ha..ha.ha.. kami tertawa mendengarnya, “Ya itulah maha karya nenek moyang kita yang harus dilestarikan. Bayangkan bangunan itu berdiri sudah ribuan tahun , loh!” Kulihat Obi pun berdecak kagum tak ada hentinya. Semoga perjalananku kali ini membawa memori indah baginya untuk terus melanjutkan wisata sejarah, alam dan religi Indonesia yang tiada duanya sehingga rasa cinta dan kebanggaannya terhadap negeri ini pun terus bertambah dari waktu ke waktu dan melekat ke dalam jiwanya.








1 komentar: